Workshop Desain Penelitian “Transformasi Sistem Pangan dan Strategi Resiliensi Masyarakat Adat Papua” yang diselenggarakan di Hotel Suni Abepura menjadi ruang belajar bersama yang sangat partisipatif. Forum ini mempertemukan berbagai latar belakang: tokoh adat, perempuan kampung, penyuluh pertanian, akademisi, hingga perwakilan pemerintah daerah. Bukan hanya untuk bertukar informasi, tapi untuk menyusun arah riset yang kontekstual, berbasis pengetahuan lokal, dan menghargai suara komunitas yang selama ini berada di garis depan kehidupan pangan di Papua.
Ruang ini menjadi tempat penting untuk menggali sistem nilai dan praktik adat yang mengakar dalam kehidupan masyarakat suku Hubula di Jayawijaya. Pak Asinalok Oagay dari Dewan Adat Lapago menjelaskan bahwa filosofi hidup masyarakat Hubula dikenal dengan 3W: wen (berkebun), wam (berternak), dan wene (ritual adat)—sebuah sistem nilai yang menjadi fondasi relasi sosial, spiritual, dan ekologis. Ia menekankan bahwa kegiatan bertani bukan hanya tentang produksi, tetapi juga tentang hubungan dengan leluhur, tanah, dan sesama. Setiap proses berkebun harus direncanakan dalam honai adat dan dijalankan secara kolektif sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.
Namun, perubahan sosial mulai mengikis nilai-nilai itu. Ibu Herlina Huby, tokoh perempuan dari Lembah Baliem, mengangkat fakta bahwa generasi muda mulai meninggalkan kebun, memilih gaya hidup instan, dan menggeser makanan pokok dari umbi-umbian ke nasi. Ia juga menyoroti tantangan besar: tidak adanya pasar yang layak untuk menampung hasil panen. Sayuran dan hasil kebun sering membusuk karena tidak terjual, sementara peran perempuan semakin berat karena laki-laki kerap meninggalkan kebun untuk berjudi. Herlina telah memimpin berbagai inisiatif dan perjuangan, termasuk aksi mendesak pemerintah untuk membuka pasar yang memadai.
Dalam konteks teknis, Bapak Piter Marian, penyuluh pertanian lokal, memberikan gambaran bahwa masyarakat Hubula sudah sangat kuat dalam pengetahuan pertanian tradisional. Ia, sebagai alumni agroteknologi, berperan untuk mendukung aspek teknis seperti pengendalian hama dan pengembangan kopi arabika. Namun, lagi-lagi, masalah utamanya adalah pemasaran dan lemahnya dukungan alat produksi. Petani bekerja keras, tetapi sering kali tidak tahu ke mana harus menjual hasil mereka.
Ibu Sumiyati Tuhuteru dari STIPER membawa sudut pandang akademik yang memperkuat pentingnya kolaborasi antara teknologi dan kearifan lokal. Ia menekankan bahwa pertanian di Lembah Baliem sangat kaya secara ekologis, namun pola tanam berpindah sangat menguras tenaga. Ketika akademisi mencoba memperkenalkan teknologi seperti sumur renteng dan pupuk ramah lingkungan, muncul resistensi budaya karena masyarakat adat khawatir hubungan spiritual dengan tanah akan terganggu. Menurutnya, keberlanjutan hanya mungkin dicapai bila inovasi berjalan berdampingan dengan nilai adat.
Dari sisi kebijakan, Pak Taufik Rachman dari BAPPERIDA menyoroti pentingnya pembaruan RTRW yang kini belum mampu melindungi wilayah adat dari alih fungsi lahan. Ia juga mengapresiasi teknik wen ima—pengolahan tanah dengan lumpur alami—yang secara ekologis sangat unggul dan telah digunakan di negara-negara seperti Jepang dan Taiwan. Sayangnya, praktik gotong royong seperti wen yoko kini mulai bergeser menjadi transaksional, mencerminkan perubahan nilai dalam kerja kolektif.
Workshop ini memperlihatkan bahwa membangun sistem pangan berkelanjutan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Ia membutuhkan proses yang terbuka, mendalam, dan partisipatif—di mana suara komunitas menjadi penentu arah. Setiap masukan yang muncul selama diskusi bukan hanya menjadi bahan penelitian, tetapi menjadi cermin bagi arah pembangunan yang lebih adil, manusiawi, dan berpijak pada akar budaya.
