2 September 2025, Datang langsung dari Lembah Palim, Papua, dengan pakaian adat yang melambangkan jati dirinya, Ambrosius Haluk dengan bangga membawakan ekpresi budaya pada acara “Diskusi Buku : Orang Hubula “ yang diselenggarakan PD-Institute. Haluk memberikan pemaknaan mendalam atas identitasnya dalam orasi budaya bertemakan "Pemuda dan Warisan Budaya: Tantangan dan Imajinasi Masa Depan”.
Salah satu isu yang diangkat oleh Haluk terkait dengan Pandangan Orang Luar Terhadap Manusia Baliem. Menurut Ambros, orang luar selalu melihat Manusia Hubula dengan pandangan negative sebagai ‘orang terbelakang’ yang masih hidup di ‘zaman batu’ ; sebagai tukang makan orang; penindas perempuan; telanjang, dan pandangan negatif lainnya. “Kalau kita jujur ingin mendekati dan mempelajari hati manusia Baliem, kita mendapatkan pesan yang lain sekali. Kita akan menemukan bahwa banyak hal kemajuan dan kebaikan yang hanya ada pada Manusia Hubula di Lempah Baliem,” ungkap Haluk.
Haluk juga membagikan keresahannya terkait dengan terkikisnya pengetahuan orang muda tentang budayanya. “Orang muda harus tahu cerita ninupu-ninopalak dan ninopaselak, ningosalak apa yang mereka cerita, hak warisan dijaga dilestarikan oleh anak-anaknya. Tanah juga termasuk warisan Leluhur maka jangan di jual, jadikan kebun atau rumah, itu mutlak untuk mempertahankan tanah Hubula mempertahankan kehidupan”.
Haluk tidak hanya tinggal diam di tengah perubahan yang ada. Bersama dengan kawan muda lainnya, Ia kemudian mendirikan Sekolah Adat Walelagama di Wamena. “Sekolah ini hadir di tengah kehidupan masyakat adat untuk mewariskan nilai-nilai dan adat istiadat kami. Manusia Hubula yang saat ini semakin terkikis dengan perkembangan global dan jaman modern. Roh-roh terkikis, moral dan kebiasaan leluhur mulai hilang, itulah kenapa sekolah adat adalah masa depan generasi muda penerus Manusia Hubula, demi mempertahankan jati dirinya”, ungkap Ambros. Kegiatan diskusi buku ini dilakukan di Jayapura pada tanggal 2 September 2025 di Hotel Suni Jayapura.
Salah satu isu yang diangkat oleh Haluk terkait dengan Pandangan Orang Luar Terhadap Manusia Baliem. Menurut Ambros, orang luar selalu melihat Manusia Hubula dengan pandangan negative sebagai ‘orang terbelakang’ yang masih hidup di ‘zaman batu’ ; sebagai tukang makan orang; penindas perempuan; telanjang, dan pandangan negatif lainnya. “Kalau kita jujur ingin mendekati dan mempelajari hati manusia Baliem, kita mendapatkan pesan yang lain sekali. Kita akan menemukan bahwa banyak hal kemajuan dan kebaikan yang hanya ada pada Manusia Hubula di Lempah Baliem,” ungkap Haluk.
Haluk juga membagikan keresahannya terkait dengan terkikisnya pengetahuan orang muda tentang budayanya. “Orang muda harus tahu cerita ninupu-ninopalak dan ninopaselak, ningosalak apa yang mereka cerita, hak warisan dijaga dilestarikan oleh anak-anaknya. Tanah juga termasuk warisan Leluhur maka jangan di jual, jadikan kebun atau rumah, itu mutlak untuk mempertahankan tanah Hubula mempertahankan kehidupan”.
Haluk tidak hanya tinggal diam di tengah perubahan yang ada. Bersama dengan kawan muda lainnya, Ia kemudian mendirikan Sekolah Adat Walelagama di Wamena. “Sekolah ini hadir di tengah kehidupan masyakat adat untuk mewariskan nilai-nilai dan adat istiadat kami. Manusia Hubula yang saat ini semakin terkikis dengan perkembangan global dan jaman modern. Roh-roh terkikis, moral dan kebiasaan leluhur mulai hilang, itulah kenapa sekolah adat adalah masa depan generasi muda penerus Manusia Hubula, demi mempertahankan jati dirinya”, ungkap Ambros. Kegiatan diskusi buku ini dilakukan di Jayapura pada tanggal 2 September 2025 di Hotel Suni Jayapura.
