Dampak Debu Batu Bara PLTU Holtekam Terhadap Kesehatan Masyarakat Kampung Holtekam
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Holtekamp ini dibangun sejak tahun 2009 dan mulai beroperasi sejak 2011. PLTU Papua 2 Holtekamp, begitu lokasi pembangkit listrik ini disebut , terletak di Kampung Holtekamp Distrik Muara Tami Kota Jayapura. Tepat di bibir pantai, PLTU ini ada di areal seluas 20 hektar. Kampung Holtekamp sendiri merupakan salah satu kampung administratif di Kota Jayapura selain Kampung Koya Tengah, Kampung Moso, Skouw Yambe, Skouw Sae, dan Skouw Mabo. Dahulu Kampung Holtekamp dikenal dengan nama “holtekang” yang berasal dari dua kata yaitu “Hol” yang berarti Teluk dan “Tekang” adalah nama dari seorang pedagang Cina yang pertama kali datang dan tinggal, sehingga terbentuk nama Holtekang. Kemudian pada tahun 1958-1970 masuk sebuah perusahaan yang bernama Fund We dan mengubah nama Holtekang menjadi Holtekamp. Kampung Holtekamp terletak di tiga wilayah adat masyarakat Enggros, Skouw dan Koya. Kampung ini didiami oleh beberapa suku yang berasal dari Papua maupun dari luar Papua yang merupakan transmigran yang berasal pulau Jawa, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan Kalimantan.
Di Kampung Holtekamp, jarak dari pemukiman warga ke tembok pembatas PLTU hanya berapa puluh meter. Letak pemukiman yang tepat di sebelah PLTU membuat masyarakat setempat perlahan-lahan merasakan imbas dari aktivitas pembakaran PLTU. Serupa dengan membakar sampah, yang akan menghasilkan banyak partikel berupa debu. Bedanya, pembakaran dari aktivitas PLTU jauh lebih berbahaya. Debu berwarna pekat kehitaman tersebut mengancam hidup manusia, terutama masyarakat di sekitar wilayah PLTU.
Meneropong Skema dan Mekanisme DPRK Pengangkatan Melalui Jalur Masyarakat Adat
Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang diberlakukan sejak 2001 melalui UU No. 21, bertujuan mengalihkan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Otsus memberikan kewenangan khusus bagi Papua untuk mengatur kepentingan masyarakat sesuai aspirasi lokal. DPRP berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta menetapkan Perdasus dan Perdasi, sedangkan MRP bertindak sebagai representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) untuk melindungi hak-hak mereka, termasuk dalam aspek adat, budaya, pemberdayaan perempuan, dan kerukunan beragama.
Pada 2021, UU No. 2 memperbarui Otsus dengan menambahkan DPRK sebagai pengganti DPRD Kabupaten/Kota. Anggota DPRK kini terdiri dari dua skema, yaitu dipilih melalui pemilu dan diangkat dari unsur OAP, dengan ketentuan tambahan bahwa 30% dari anggota yang diangkat harus perempuan.